Quote:
Saya baru saja selesai membaca satu bab dari buku yang berkisah tentang si jenius ini. Dalam Einstein: His Life and Universe karangan Walter Isaacson (2008) saya menemukan sisi religiusnya. Mari kita simak pendapat Einstein berikut ini. “Cobalah memahami rahasia alam dengan kemampuan kita yang terbatas dan Anda akan mendapati bahwa di balik semua hukum dan hubungan alam yang bisa dilihat, masih ada sesuatu yang halus, tidak berwujud, dan tidak bisa dijelaskan. Memuja kekuatan di luar apa pun yang bisa kita pahami adalah agama saya. Sampai sejauh itu saya memang percaya Tuhan”.
Apakah Tuhan yang dipercayai Einstein seperti yang pahami dalam konsep orang Yahudi? Dalam wawancaranya dengan George Sylvester Viereck, Einstein menjawab bahwa dia penganut determiisme. Deteminisme adalah paham yang menganggap setiap kejadian atau tindakan, baik yang menyangkut jasmani maupun rohani, merupakan konsekuensi kejadian sebelumnya dan ada di luar kemauan atau kendali kita. Determinisme bertolak belakang dengan konsep kehendak bebas. “Orang Yahudi percaya pada kehendak bebas. Mereka percaya bahwa manusia membentuk hidupnya sendiri (tanpa campur tangan kekuatan lain yang ada di luar kendalinya). Saya menolak doktrin tersebut. Dalam hal ini , saya bukan orang Yahudi.”
Rabi Herbert S Goldseun, pemimpin Yahudi Ortodoks di New York pernah bertanya langsung ke Einstein: “Apakah Anda percaya kepada Tuhan? Berhenti. Berikan jawaban Anda, 50 Kata.” Einstein kemudian menjawab pertanyaan itu tetapi dengan jumlah kata yang lebih sedikit. Ini menjadi versi jawabannya yang paling terkenal yang sering ia berikan. “Saya percaya pada Tuhan Spinoza, yang menunjukkan dirinya dalam kerukunan semua makhluk, tetapi bukan Tuhan yang sibuk memikirkan takdir dan perbuatan umat manusia.” Spinoza bukanlan filsuf yang dipuja. Ia telah dikucilkan oleh komunitas Yahudi di Amsterdam karena keyakinannya itu. Ia juga dikutuk oleh Gereja Katolik.
Dalam kesempatan wawancaranya dengan George Sylvester Viereck, Einstein pernah menjelaskan: “Saya terkagum-kagum dengan pahan panteisme Spinoza, tetapi saya jauh lebih mengagumi sumbangsihnya pada pemikiran modern karena dia adalah filsuf pertama yang membahas tentang jiwa dan tubuh sebagai saru kesatuan, dan bukan dua hal yang berbeda.” Panteisme sendiri adalah ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan yang menyatu dengan hukum-hukum alam semesta. Andai Einstein pernah membaca pemikiran filsuf Islam, sebut saja seperti Ibnu Arabi, tentu dia tidak akan menyebut Spinoza sebagai “filsuf pertama” yang mengajarkan panteisme.
Meski tidak menganut satu agama secara resmi, Einstein dengan nada halus menyindir para ilmuwan atau filsuf ateis. “Faktor yang membedakan saya dengan sebagian besar orang yang menyebut diri mereka ateis adalah perasaan sangat rendah hati terhadap rahasia yang tidak dapat terpecahkan dalam keselarasan alam semesta. Orang ateis yang fanatik sama seperti budak yang masih merasakan beratnya rantai yang telah mereka lepas setelah perjuangan keras. Mereka adalah makhluk yang ---dalam kebencian mereka terhadap agama tradisional sebagai 'candu masyarakat'--- tidak bisa mendengarkan musik alam semesta.”
Penggambaran jagat sebagai sebuah komposisi musik, tentu tidak bisa dilepaskan dari paham determinsme yang tadi dianut Einstein. Perkataan Schopenhaeur, “Seorang manusia bisa bertindak semaunya, tetapi bukan seperti yang dia mau”, telah mengilhaminya sejak remaja. Mungkin serupa dengan ungkapan yang lazim kita dengan, “Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan.”
Manusia bukan makhluk yang 100 persen bebas. Dalam keyakinan Einstein, “Semunya sudah ditentukan, dari awal hingga akhir, oleh kekuatan yang yang tidak bisa kita kendalikan. Semuanya sudah ditentukan, baik untuk serangga maupun bintang. Manusia, sayuran, atau debu kosmis, kita semua berdansa mengikuti irama misterius yang dimainkan dari jauh oleh seseorang yang tak kasat mata”. (Jika mendalami buah pemikiran para sufi, Einstein akan menemukan penjelasan atas apa yang ia sebut misterius itu.)
“Perasaan paling yang bisa kita rasakan adalah perasaan misterius. Itu adalah perasaan mendasar yang menjadi tiang bagi semua seni dan ilmu pengetahuan sejati. Bagi mereka yang merasa asing dengan perasaan ini, yang tidak pernah merasa heran dan berdiri dengan penuh kekaguman, sama saja dengan mati, seperti lilin yang padam.” Apakah Anda percaya keabadian? Sekali lagi ini kutipan wawancara Einstein dengan George Sylvester Viereck: “Tidak. Dan satu kehidupan sudah cukup bagi saya.
No comments:
Post a Comment