Dalam beberapa kitab klasik seperti ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain,
berbicara atau bersuara pada saat jima’ adalah hal yang dilarang.
Sebagian muslim dan muslimah juga berpegang pada pandangan ini sehingga
tidak berani bersuara, termasuk mengeluarkan rintihan, saat bercinta.
Benarkah demikian?
Salim A. Fillah dalam bukunya Barakallahu Laka... Bahagianya Merayakan Cinta
-tanpa mengurangi penghargaan terhadap Syaikh Muhammad Umar An Nawawi
Al Bantani yang telah menulis kitab tersebut- memaparkan bahwa larangan
bersuara pada saat jima’ ternyata bertentangan dengan riwayat shahih
yang menjelaskan praktik generasi sahabat.

Senada dengan riwayat tersebut, faqihnya sahabat, Abdullah bin Abbas
radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang hukum rintihan dan desahan
saat berjima’. Beliau menjawab, “Apabila kamu menjima’ istrimu,
berbuatlah sesukamu.”
Demikianlah praktek dan fatwa sahabat. Ternyata mereka membolehkan
rintihan dan desahan saat bercinta. Meski demikian, suami istri perlu
memastikan agar suara mereka saat bercinta itu tidak sampai terdengar
orang lain, termasuk anak-anaknya. [IK/bersamadakwah]http://blog.bringislam.web.id
No comments:
Post a Comment