Monday, May 25, 2015

MISTERI Malam Lailatul Qadar Dalam Sisi IPTEK

Mengapa Ramadhan?
Dalam Islam kita mengenal adanya 4 bulan suci, yaitu Dzulka’idah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Ramadhan yang berarti panas pun tidak termasuk sebagai bulan suci. Mengapa Ramadhan dipilih untuk puasa sebulan penuh?
Dalam ilmu astronomi, Radiasi Matahari memiliki siklus 11 tahunan.
Tahun 2007 sendiri merupakan akhir dari siklus ke 23 sejak pengamatan pertama pada abad 18.
Bumi dilindungi Magnestosphere, sehingga dampak badai radiasi bukan terjadi pada sisi bumi yang menghadap matahari (siang hari).

Ramadhan Bulan Kemerdekaan



Ilustrasi. (coroflot.com / kchemnad)
Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Keistimewaan Ramadhan membuat orang – orang beriman berlomba – lomba memperbanyak amalan baik dan meninggalkan amalan buruknya. Bagi Umat Islam di Indonesia, Ramadhan Lebih dari sekadar Istimewa. Ramadhan adalah saksi Sejarah puncak perjuangan kemerdekaan para ulama bersama umat Islam. Jumat, 9 Ramadhan 1334H (17 Agustus 1945) adalah hari di mana kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Betapa Indah Allah menghadiahkan Kemerdekaan Bagi Bangsa Indonesia pada hari jumat dalam bulan Ramadhan. Namun berapa banyak umat Islam Indonesia hari ini yang tahu dan mensyukuri ketetapanNya.

Monday, May 11, 2015

Beginilah Peradaban Bangsa Jin


Sebelum diciptakannya manusia, Allah SWT terlebih dulu menciptakan makhluk lain yang bernama JIN. Dan Sebelum jin, Allah telah menciptakan malaikat.
“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (QS.15:)
“Malaikat diciptakan (sebelumnya) dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan dari apa yang telah disifatkan kepada kalian (tanah/lumpur hitam).” ( HR. Muslim )
Mengenai malaikat, tidak akan kita bahas sekarang. Karena kita akan coba mengenal tentang bangsa jin. Coba simak artikel berikut….

Cerita tentang ”Teler”-nya Abu Nawas


Ya, Abu Hani, idza lam takun milhan tuslih, fa la takun zubabatan tufsid (Wahai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan, yang merusak hidangan itu).
Konon Terjadi Saat Lailatulkadar
HAMPIR semua orang mengenal nama Abu Nawas. Namun di negeri kita, sosok tersebut telanjur dianggap sebagai pelawak. Mungkin hal itu akibat pengaruh buku “Hikayat Abu Nawas” saduran Nur Sutan Iskandar, terbitan Balai Pustaka, yang menjadi bacaan wajib murid-murid sekolah sejak tahun 1930-an hingga 1950-an.

SALAH satu taman kota, “Taman Abu Nawas” di Bagdad Irak dihiasi monumen dinding dengan relief cerita Abu Nawas yang hidup merakyat dan berperilaku lucu. Monumen sejenis dengan tema cerita Abu Nawas banyak dijumpai di taman-taman kota di Bagdad dan kota lainnya di Irak. (Foto diambil Maret 2003).*Achmad Setiyaji/”PR” –
Padahal Abu Nawas (nama sebenarnya Abu Hani Muhammad bin Hakami, lahir di Ahwaz, Persia, tahun 735 dan meninggal di Bagdhad, tahun 810) adalah seorang sastrawan besar dalam khazanah sastra Arab abad Pertengahan. Bahkan sastrawan terbesar pada zaman kekuasaan Sultan Harun al Rasyid al Abassi, yang menjadi khalifah Dinasti Abasiyah tahun 786-809.

I’TIROF – PENGAKUAN

Ilaahi Lastu Lil Firdausi Ahlaa
Walaa Aqwaa ‘Alan Naaril Jahiimi
Fahablii Taubataw Waghfir Dzunuubii
Fainnaka Ghoofirudz Dzambil ‘Adhiimi

Dzunuubii Mitslu A’daadir Rimaali
Fahabli Taubatay Yaadzal Jalaali
Wa ‘Umrii Naaqishun Fii Kulli Yaumi
Wa Dzambii Zaidun Kaifach Timaali
Ilaahii ‘Abdukal ‘Aashii Ataaka
Muqirrom Bidz Dzunuubi Waqod Da’aaka
Wain Taghfir Fa-Anta Lidzaaka Ahlun
Fain Tathrud Faman Arju Siwaaka

Wahai Tuhan aku tak layak ke firdausMu,
namun tak pula aku sanggup ke nerakaMu,
ampunkan dosaku, terimalah taubatku,
sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar

Dosa-dosaku bagaikan pasir-pasir di pantai,
dengan rahmatMu ampunkan daku oh Tuhanku
wahai Tuhan, selamatkan kami ini dari segala kejahatan dan celaka
kami takut, kami harap kepadaMu
suburkanlah cinta kami kepadaMu
kamilah hamba yang mengharap belas dariMu.


Oleh: Abu Nawas

Kisah Abu Nawas Melarang Rukuk dan Sujud dalam shalat


Syahdan, Khalifah Harun Al-Rasyid marah besar pada sahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa tidak mau rukuk dan sujud dalam salat.
Lebih lagi, Harun Al-Rasyid mendengar Abu Nawas mengatakan bahwa dirinya khalifah yang suka fitnah! Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas layak dipancung karena melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah.
Khalifah mulai terpancing. Tapi untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi). Abu Nawas pun digeret menghadap Khalifah. Kini, ia menjadi pesakitan.
“Hai Abu Nawas,

Blog #IndonesiaTanpaJIL : Dr. Daud Rasyid, Diasingkan Karena Bela Prinsip-Prinsip Islam



Sudah menjadi sunnatullah dalam berdakwah, setiap da’i yang melawan kebatilan akan mendapat ujian-ujian maupun fitnah-fitnah. Adalah doktor Daud Rasyid, jebolan Universitas Kairo, Mesir, yang dideportasi oleh pihak Institut Agama Islam Negeri (IAIN, sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ke IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Padahal sesuai dengan permintaan Direktur Program Pascasarjana (PPs) IAIN Jakarta Prof. Harun Nasution saat itu, Daud diminta memberi kuliah di kampus yang terletak di bilangan Ciputat, Tengerang itu.

Melawan Liberalisme di Kampus

“Secara logika tidak pas. Karena menurut rencana semula, yang mendorong saya untuk menjadi PNS itu almarhum Prof. Harun. Karena tenaga saya dibutuhkan di IAIN Jakarta,” ujarnya.

Akibat peristiwa ini, Prof. Dr. Harun Nasution, yang juga dikenal sebagai pembawa dan penyebar aliran Mu’tazilah ke Indonesia, khususnya di dunia perguruan tinggi, merasa terkejut dengan peristiwa itu. “Beliau sendiri bingung dan kaget dengan kejadian itu. Kerjaan siapa ini?” sambungnya.

Maklum saja. Dalam pandangan Harun, Daud Rasyid adalah tenaga pengajar “langka” saat itu. Alasannya, IAIN sangat membutuhkan doktor ahli hadis untuk mengajar di program pascasarjana. Karena itulah, ketika mendengar Daud Rasyid pulang ke Indonesia, Harun pun memintanya mengisi mata kuliah Ilmu Hadis.

Thursday, May 7, 2015

Kapitayan Agama Pertama yang Ada di Nusantara

Agama asli Nusantara adalah agama lokal, agama tradisional yang telah ada sebelum agama Hindu, Budha, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Islam dan Konghucu masuk ke Nusantara (Indonesia).
Perdebatan tentang agama asli Nusantara sampai sekarang masih menyisakan pandangan yang tak berujung. Ada pemikir menafsir, jauh sebelum Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan – yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinanisme. Ada juga yang berpendapat, sebelum ajaran agama samawi hadir di Nusantara leluhur kita sudah lama memiliki kesadaran spiritual yang tinggi. Mereka merasa bahwa keyakinan itu hanya untuk dipercaya dan ajarannya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak patut menjadi bahan perdebatan.
Quote:

TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang bersifat Kebaikan disebut TU-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang. TU yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya.

Ilustrasi
SEBENARNYA AGAMA APA YANG ADA PERTAMA KALI BERKEMBANG DI NUSANTARA?

Asal Usul Gelar ‘Haji’ yang Hanya di Indonesia


Tahukah kamu? bahwa gelar tambahan ‘Haji’ itu hanya ada di Indonesia. Di Arab Saudi maupun negara belahan dunia manapun ketika seseorang pulang menunaikan ibadah haji tidak ada yang menambahkan gelar tersebut di depan nama mereka. Lalu bagaimana sejarahnya gelar ‘Haji’ itu bisa muncul di Indonesia?
Gelar “haji” tergolong cukup unik. Hanya di Indonesia saja kita menemukan fakta pemberian gelar semacam itu. Mengenai hal ini, arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menyatakan hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.
Sebagaimana disebutkan, secara kebahasaan, haji berarti menziarahi, mengunjungi. Jadi tepatnya istilah ini digunakan untuk orang yang mau beribadah haji, bukan untuk mereka yang telah selesai melaksanakannya. Ketika seseorang pulang dari ibadah haji, sebenarnya sematan haji bagi dirinya sudah tuntas, karena dia tidak lagi berada dalam proses berziarah.
Sebaliknya di Indonesia, gelar tersebut masih tetap melekat. Orang-orang yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, mendapat gelar tambahan di depan namanya dengan sebutan haji (untuk laki-laki) dan hajjah (untuk perempuan). Banyak orang memandang hal itu tidak baik, karena bisa menimbulkan sikap riya, pamer, sehingga bisa berbahaya bagi nilai ibadahnya di hadapan Allah.