Agama asli Nusantara adalah agama lokal, agama tradisional
yang telah ada sebelum agama Hindu, Budha, Kristen Protestan, Kristen
Katholik, Islam dan Konghucu masuk ke Nusantara (Indonesia).
Perdebatan tentang agama asli Nusantara sampai sekarang masih menyisakan pandangan yang tak berujung. Ada pemikir menafsir, jauh sebelum Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan
– yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan
Dinanisme. Ada juga yang berpendapat, sebelum ajaran agama samawi hadir
di Nusantara leluhur kita sudah lama memiliki kesadaran spiritual yang
tinggi. Mereka merasa bahwa keyakinan itu hanya untuk dipercaya dan
ajarannya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak patut
menjadi bahan perdebatan.
Quote:
TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang bersifat Kebaikan disebut TU-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang. TU yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya. |
Ilustrasi
SEBENARNYA AGAMA APA YANG ADA PERTAMA KALI BERKEMBANG DI NUSANTARA?
Agama yang paling awal berkembang di Nusantara adalah Kapitayan.
Sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut,
“Sanghyang Taya” yang bermakna hampa atau kosong. Orang Jawa
mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat, “tan kena kinaya
ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaannya. Untuk itu, supaya
bisa disembah, Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang
disebut “Tu” atau “To”, yang bermakna “daya gaib”, yang bersifat
adikodrati.
Dalam bahasa Jawa kuno, Sunda kuno juga Melayu kuno, kata “taya”
artinya kosong atau hampa namun bukan berarti tidak ada. Ini adalah
istilah yang digunakan untuk mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa
didefinisikan, tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat,
juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun. Ia ada tetapi tidak ada.
BAGAIMANA DASAR PEMAHAMAN AJARAN TERSEBUT?
Dalam sistem ajaran Kapitayan yang begitu sederhana waktu itu,
Sanghyang Taya tidak bisa dikenali kecuali ketika muncul dalam bentuk
kekuatan gaib yang disebut “Tu”. “Tu” adalah bahasan kuno yang artinya
benang atau tali yang menjulur. “Tu” inilah yang dianggap sebagai
kemungkinan pribadi Sanghyang Taya.
“Tu” kemudian diketahui mempunyai sifat utama yaitu sifat baik dan
sifat tidak baik. Yang baik bersifat terang dan yang tidak baik begitu
gelap namun dalam satu kesatuan. “Tu” yang baik disebut Tuhan, dan “Tu”
yang tidak baik disebut Hantu.
“Tu” bisa didekati ketika dia muncul di dunia dalam sesuatu yang
terdapat kata-kata ‘tu’. Seperti wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-nggul,
tu-ban, dan sebagainya, yang menyiratkan adanya kekuatan ghaib dari “tu”
yang bersemayam. Biasanya orang-orang memberikan sesajen. Ini jaman
purba sekali.
DALAM MENYEBARKAN AGAMA ISLAM APAKAH WALISONGO MENGADOPSI KAPITAYAN?
Memang Kapitayan ini diadopsi oleh Wali Songo untuk menyebarkan Islam.
Karena selama 850 tahun Islam tidak bisa masuk pada kalangan pribumi
yang mayoritas penganut Kapitayan. Karena apa? Karena para saudagar
muslim menceritakan bahwa Allah itu duduk di atas singgasana bernama
Arsy. Lho, itu kan seperti manusia?. Orang-orang pribumi yang memahami
Kapitayan tidak bisa menerima logika seperti itu. Bagaimana Tuhan duduk,
itu kan sama seperti manusia?
LALU PRINSIP AJARANNYA BAGAIMANA ?
Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Budha.
Nah, pada jaman Wali Songo, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana
untuk berdakwah dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sanghyang
Taya adalah laisa kamitslihî syai’un, berdasarkan dalil al-Quran dan
Hadis yang artinya sama dengan tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak
bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun.
Wali Songo juga menggunakan istilah ‘sembahiyang’ dan tidak
memakai istilah shalat. Sembahiyang adalah menyembah ‘Yang’. Di mana? Di
sanggar. Tapi, bentuk sanggar Kapitayan kemudian diubah menjadi seperti
langgar-langgar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi bedhug, ini pun
adopsi Kapitayan. Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari
pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan ‘shaum’ karena masyarakat
tidak ngerti tapi menggunakan istilah ‘upawasa’ kemudian menjadi puasa.
Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan pakai tumpeng. Jadi,
Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa
diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang Tuhannya berwujud seperti
manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas masyarakat Nusantara akan menolak.
Hindu pun ketika masuk ke Nusantara juga diseleksi. Ajaran Hindu yang
paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu.
Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul
dalam sosok manusia akhirnya ajaran itu habis tergusur, digantikan
ajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana
manusia.
MENURUT PERSEPSI ANDA, APA YANG DISEBUT KEJAWEN?
Kata Kejawen secara gramatika kebahasaan saja sudah salah. Dalam bahasa Jawa, tidak ada
kata Kejawen. Sebetulnya Kejawen diberikan kepada kelompok hasil
reformasi yang dilakukan oleh Syaikh Lemah Abang di daerah pedalaman.
Reformasi dari masyarakat “kawulo” yang artinya budak menjadi masyarakat
merdeka sehingga menimbulkan konflik dengan Kesultanan Demak.
Syaikh Lemah Abang membentuk banyak sekali Desa Lemah Abang, dari
daerah Banten sampai daerah ujung timur Jawa. Para pengikut Syaikh Lemah
Abang umumnya menentang tradisi Kesultanan Demak.
Dalam buku Negara Kerta Bumi disebutkan bahwa Syaikh Lemah Abang
pernah tinggal di Baghdad selama tujuh belas tahun. Oleh karena itu,
pemahaman dia terhadap sistem kekuasaan banyak terpengaruh oleh sistem
kekuasaan di Baghdad.
Ketika balik ke Nusantara, dia melihat realita Kesultanan Demak yang
masih meneruskan pola kekuasaan Majapahit. Jika ada masyarakat yang akan
menghadap sultan atau raja diharuskan nyembah dulu yang oleh Syaikh
Lemah Abang dianggap tidak benar. Sebab ketika Syaikh Lemah Abang
menghadap sultan maupun raja, dia tetap dengan posisi berdiri, tidak
nyembah, dan sejak itu dia melarang masyarakat menyembah jika menghadap
sultan.
No comments:
Post a Comment