Sudah menjadi sunnatullah dalam berdakwah, setiap da’i yang melawan
kebatilan akan mendapat ujian-ujian maupun fitnah-fitnah. Adalah doktor
Daud Rasyid, jebolan Universitas Kairo, Mesir, yang dideportasi oleh
pihak Institut Agama Islam Negeri (IAIN, sekarang UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta ke IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Padahal
sesuai dengan permintaan Direktur Program Pascasarjana (PPs) IAIN
Jakarta Prof. Harun Nasution saat itu, Daud diminta memberi kuliah di
kampus yang terletak di bilangan Ciputat, Tengerang itu.
Melawan Liberalisme di Kampus
“Secara logika tidak pas. Karena menurut rencana semula, yang
mendorong saya untuk menjadi PNS itu almarhum Prof. Harun. Karena tenaga
saya dibutuhkan di IAIN Jakarta,” ujarnya.
Akibat peristiwa ini, Prof. Dr. Harun Nasution, yang juga dikenal
sebagai pembawa dan penyebar aliran Mu’tazilah ke Indonesia, khususnya
di dunia perguruan tinggi, merasa terkejut dengan peristiwa itu. “Beliau
sendiri bingung dan kaget dengan kejadian itu. Kerjaan siapa ini?”
sambungnya.
Maklum saja. Dalam pandangan Harun, Daud Rasyid adalah tenaga
pengajar “langka” saat itu. Alasannya, IAIN sangat membutuhkan doktor
ahli hadis untuk mengajar di program pascasarjana. Karena itulah, ketika
mendengar Daud Rasyid pulang ke Indonesia, Harun pun memintanya mengisi
mata kuliah Ilmu Hadis.
Menurutnya, pembuangan dirinya ke IAIN Bandung bukanlah hal yang
tiba-tiba. Tapi, jauh-jauh hari sudah didesain oleh petinggi IAIN saat
itu. “Ini bukan tanpa rencana, tapi sengaja,” katanya.
Waktu pun terus berjalan. Selama tiga tahun menjadi dosen di IAIN
Jakarta, selama itu pula ayah tujuh anak ini mendapat serangan balik dan
“teror” dari sejumlah dosen dan petinggi IAIN yang tak senang dengan
pemikiran dan gerakan Daud Rasyid. “Terutama dari sarjana lulusan Barat
atau AS,” paparnya.
Ia menuturkan, keberadaan Daud Rasyid rupanya telah membuat sebagian
alumni Barat/AS gerah dan gundah. “Program pembaratan mereka di IAIN
terganggu dengan keberadaan saya. Selama mengajar di sana saya melihat
memang terjadi pertarungan pemikiran antara kelompok Barat, yang
meliberalkan pemikiran Islam. Itu saya hadapi di perkuliahan,”
terangnya.
Celakanya, ada pihak-pihak yang mengadu-domba antara Harun Nasution
dengan Daud Rasyid. Maksudnya, agar mantan rektor IAIN Jakarta itu tak
simpatik lagi dengan laki-laki kelahiran Tanjung Balai, Sumatera Utara
ini. Tapi, syukurnya Harun tak terpengaruh dengan wacana dan ulah nakal
itu.
Namun, di usianya yang semakin uzur, tak lama kemudian Harun mundur
dari jabatan direktur PPs, usaha mendeportasi Daud Rasyid ke IAIN
Bandung terlaksana. Daud Rasyid menjelaskan, kondisi Harun yang melemah
itulah yang mereka manfaatkan. “Karena sejak Pak Harun tak lagi memimpin
PPs, langkah mereka lebih leluasa. Sebelumnya mereka sungkan dengan
Prof. Harun,” ungkap alumnus IAIN Sumut ini.
“Mereka kadang mendorong mahasiswa untuk protes ke Pak Harun. Artinya
keberadaan saya tak nyaman bagi mereka. Ketika Prof. Harun ketemu
dengan saya, itu juga disampaikannya ke saya. Ada sekelompok orang yang
mendatangi dia melaporkan tentang saya. Maka saya tahu. Saya itu tak
akan dibiarkan leluasa menyampaikan tentang pemikiran Islam yang lurus.
Mereka lalu menunggu titik limitnya ketika Prof. Harun meninggal dunia,”
sambung Daud.
Sejak itu, aktivitas mengajar suami dari Iskamaliati di PPs IAIN
Jakarta dipangkas habis. “Satu mata kuliah pun saya tak diberi,”
katanya. Selain dihabisi gerakannya di PPs, ia juga sering dikucilkan.
Tapi bagi Daud, tidak jadi masalah, dakwah membasmi virus liberalisme
dan sekularisme di perguruan tinggi adalah mulia dan harus dilaksanakan.
Setelah peristiwa ini, sejumlah dosen dan pihak di-cross- chek. Ada
yang mengatakan tak tahu- menahu masalah itu. Tapi ada juga yang
menyebutkan bahwa pemberhentian paksa dilakukan atas kebijakan rektorat,
yang kala itu dipimpin Azyumardi Azra.
Mendengar jawaban yang berbeda-beda itu, Daud Rasyid pun lantas
menelusuri “sanad” kasus ini. Selidik punya selidik rupanya di balik
semua rekayasa tak fair itu adalah rektor sendiri, yakni, Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA. “Ya, dia itu. Dia adalah otaknya, yang ingin
menyingkirkan saya dari IAIN Ciputat,” urainya.
Ia menilai, langkah para liberalis itu adalah sikap yang tidak jujur.
“Mereka tak dewasa. Apa yang mereka gembar-gemborkan mengenai dialog
dan berbeda pendapat, semuanya itu bohong. Itu cuma di mulut saja.
Mereka itu adalah diktator. Kalau disuruh memimpin negeri ini, wah kacau
negeri ini,” jelasnya.
Daud Rasyid mengungkapkan, sebenarnya tak semua mahasiswanya alergi
dengan gagasan yang dibawanya. Sebab, dari ceramah, diskusi dan
ide-idenya itulah para mahasiswa/i PPs tahu mana pemikiran Islami dan
mana yang bukan. “Ada mahasiswa yang mengatakan, setelah Pak Daud di
sini pemikiran Barat tidak menghegemoni pemikiran kita,” katanya
mengutip pernyataan mahasiswa(i)nya.
Dengan larangan mengajar di PPs IAIN Jakarta, maka secara otomatis
pula, Daud Rasyid tak bisa mengajar di program strata satu (S1).
Pasalnya, ia harus hijrah ke IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sebagai orang yang biasa hidup dalam pertarungan pemikiran, Daud tak
pernah takut untuk menghadapi model pemikiran apapun. Maklum saja,
selain fasih berbicara tentang Islam, dosen PPs Ibnu Khaldun ini juga
mengusai pemikiran Barat.
Karena itu, ketika ia diasingkan ke IAIN Bandung, baginya masalah itu
adalah hal yang biasa. Ketika awal masuk IAIN Bandung, sekitar satu
tahunan ia masih diberi kesempatan untuk mengajar di PPs IAIN Bandung.
Namun setelah, direktur PPs-nya tahu ‘bahaya’ Daud Rasyid bagi
gelombang dan arus pembaratan di kampus tersebut, akhirnya ia juga
mengalami nasib serupa. Tapi, kali ini tak separah di Jakarta. “Di sini
saya masih diberi kesempatan mengajar S1. Rektornya mendukung.
Direkturnya saja yang takut dengan keberadaan saya,” ujarnya.
“Tapi, sambungnya, secara umum kondisinya sama. Mereka sudah dikuasai
oleh pemikiran Barat. Anehnya, mereka belajar Islam, tapi rata-rata
pengetahuan Islam dan bahasa Arabnya rendah,” tambahnya.
Ke Mesir, Taubat dari Pemikiran Liberal-Sekular
Semula, aku Daud, dirinya termasuk mahasiswa yang gandrung dengan
pemikiran tokoh-tokoh liberalis-sekularis. Sebut saja, misalnya,
pemikiran almarhum Nurcholis Madjid, alias Cak Nur. “Iya, saya pernah
mengagumi pemikiran Cak Nur. Buku-bukunya saya baca,” katanya.
Dijelaskannya, dirinya sempat menjadi peminat pemikiran
liberalis-sekularis lantaran saat menjadi mahasiswa Fakultas Syari’ah
IAIN Sumatera Utara (Sumut), Daud adalah aktivis Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI). “Dulu, yang namanya anak HMI pasti membaca buku-buku Cak
Nur,” akunya.
Namun, episode ini tak berlangsung lama. Setelah lulus dari IAIN
Sumut, Daud lantas hijrah ke Mesir. Di negeri Sungai Nil inilah, ia
mengalami perubahan paradigma secara drastis. Melalui kegiatan membaca
karya-karya tokoh-tokoh sekular dan tokoh-tokoh Islamis Mesir dan dunia
Arab, pandangan Daud berbalik 180 derajat. Ia tahu dan sadar benar,
ternyata pandangan hidup dan pemikiran sekular adalah keliru. Dari
situlah Daud Rasyid mengikuti jejak Sayyid Qutb. Yakni, kritis terhadap
pemikiran dan gaya hidup Barat.
“Saya baca buku-buku tokoh sekuler yang menjadi guru-guru mereka
seperti Ali Abdul Raziq, Thaha Husein dan sebagainya,” paparnya. Selain
itu, Daud, yang kutu buku sejak kecil juga melahap karya-karya
tokoh-tokoh Islam seperti Al-Maududi, Sayyid Qutb dan lainnya. Tak hanya
itu, ia juga berdialog langsung dengan tokoh dan pemikir dari berbagai
kalangan di Mesir.
Cerdas dan Kritis
Banyak orang cerdas, tapi sedikit orang yang kritis terhadap masalah.
Daud Rasyid kecil termasuk anak yang cerdas. Dari sekolah dasar (SD)
sampai perguruan tinggi, belajarnya selalu double, alias di dua tempat.
“Kebiasaan ini berlanjut sampai di perguruan tinggi,” ujar alumnus
Fakultas Hukum Universitas Sumut (USU).
Menurutnya, belajar di dua tempat bukanlah hal yang berat. Karena
itu, ia menikmatinya. Prestasinya selama belajar selalu gemilang.
“Alhamdulillah saya juara satu terus,” kenangnya. Prestasi membanggakan,
juga ia raih ketika menyelesaiakan program S2 dan S3 di Universitas
Kairo. “Disertasi saya meraih predikat summa cumlaude,” terangnya.
Dituturkannya, ibunyalah yang mendorongnya untuk belajar tekun dan
sungguh-sungguh. Karena itu pula, sejak usia SD ia sudah terbiasa
membaca kitab kuning.
Inspirasi dari sang bundanya itu, kini ia wariskan kepada tujuh buah
hatinya. Ia bersama istri tecintanya membiasakan anak-anaknya untuk
dekat dengan Al-Qur’an. Karena itu pula membaca dan menghafal ayat-ayat
Allah itu adalah menjadi kebiasaan keluarga ini.
*Dicopy dari artikel lama tahun 2005
____________________
DR. Daud Rasyid, MA lahir di Tanjung Balai, sebuah kota kecil di
pesisir pantai Sumatera Utara pada hari Senin tanggal 3 Desember 1962
Masehi bertepatan dengan tanggal 5 Rajab 1382 Hijriyah. Daud Rasyid
adalah putera tunggal alm. Bapak Harun al-Rasyid dan alm. Ibunda Hajjah
Nurul Huda, seorang pendidik dan ustazah di kota itu.
Masa kecilnya dihabiskan belajar pagi-sore di sekolah formal. Pagi,
belajar di sekolah umum dan sore belajar di Madrasah. Malam hari dan
hari libur diisi dengan belajar non-formal kepada para syaikh dan Ustaz
di daerahnya. Tahun 1980, setelah tamat SMA dan Aliyah, ia meninggalkan
kota kelahirannya, merantau ke Medan untuk mengecap pendidikan tinggi di
IAIN Medan dan di USU. Namun itu hanya tiga tahun dilaluinya. Baru saja
menyelesaikan B.A dari IAIN, dibukalah kesempatan untuk belajar ke
Al-Azhar melalui beasiswa Al-Azhar yang disalurkan melalui IAIN.
Daud, yang semasa mahasiswanya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) ini, pada awalnya tidak terlalu serius mengikuti tes beasiswa itu,
karena studinya yang rangkap di USU dan di IAIN harus ia selesaikan.
Namun, apa mau dikata, ketika diumumkan, ia lulus ranking satu dalam
seleksi itu.
Di Mesir, hari-harinya ia habiskan belajar tidak saja di
lembaga-lembaga formal, seperti di Fak. Syari`ah wa al-Qanun, Al-Azhar,
tetapi juga kepada para `Ulama Mesir. Majma` al-Buhuts al-Islamiyah
(Institut Riset Islam) di Al-Azhar adalah salah satu tempat Daud menimba
ilmu kepada ulama-ulama terkemuka di Azhar, seperti Syaikh Abdul
Muhaimin, Ustaz Sa`ad Abdul Fattah dan lain-lainnya.
Riwayat Pendidikan
- 1980-1983 belajar di Fak. Syari’ah IAIN Sumatera Utara, Medan, selesai Sarjana Muda (B.A) dengan yudicium : “Memuaskan”.
- 1981-1983 belajar di Fak. Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
- 1984-1987 belajar di Fak. Syari’ah wal-Qanun (Syari’ah dan Hukum) Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
- 1987-1990 belajar di program Pascasarjana (S2) Fakultas Darul ‘Ulum (Studi Islam dan Arab) Universitas Kairo, jurusan “Syari’ah” dan lulus Master (M.A.) dalam bidang “syari`ah” dengan judicium : “Cum Laude” (mumtaz). Judul tesis : “Marwiyyat al-Hakam ibn ‘Utaibah wa fiqhuhu” (Hadits-hadits riwayat Imam Al-Hakam ibn ‘Utaibah dan Metodologi Fiqhnya).
- 1994-1996 menempuh program Doktor (S3) di Fak. Darul ‘Ulum, Universitas Kairo dan meraih “Doktor” (PhD) dalam bidang “Syari`ah” dengan yudicium “Summa Cumlaude” (mumtaz bi martabat syaraf `ula) dengan judul disertasi : “Juhud ‘Ulama` Indonesia fi as-Sunnah” (Jasa-jasa Ulama Indonesia di bidang Sunnah”).
Studi informalnya ditempuh di masjid-masjid dan di rumah syuyukh
Mesir. Ia pernah berguru kepada almarhum Syeikh Hasanain Makhluf, mantan
Grand Mufti Mesir. Juga Dr. Abdussattar Fatahallah Sa`id, ahli Tafsir
di Azhar. Syaikhnya di bidang Hadits adalah Dr. Rif`at Fauzi, guru besar
di Dar al-`Ulum, Universitas Kairo. Syaikh Rif`at tidak saja gurunya di
kampus, tetapi lebih mendalam lagi di luar kampus. Ia membaca kutub
al-Sittah, Muwatto’ Malik, Muqaddimah Ibnu al-Shalah dan karya-karya
hadits lainnya secara talaqqi. Sampai-sampai Dr. Rif`at mempercayakan
perpustakaannya untuk dipegang oleh penerjemah ( Daud Rasyid), selama ia
bertugas ke luar negeri. Ia juga banyak belajar dari Dr. `Abdushshobur
Syahin, pemikir kondang Mesir dan senantiasa aktif mengikuti ceramah dan
khutbah Syahin di Mesir.
Yang banyak membentuk pola pikir Daud adalah gurunya Prof. Muhammad
Boultagi Hasan, pakar Ushul Fiqh di Dar al-`Ulum, Kairo. Begitu juga
Syekh Yusuf al-Qaradhawi yang kitab-kitabnya senantiasa diikuti oleh
penerjemah.
Tahun 1993 ia kembali ke Mesir untuk melanjutkan studinya (program
doktor) di Fakultasnya semula. Di Fakultas yang telah mengeluarkan
sejumlah pemikir besar di Arab dan sejumlah Syahid, di antaranya Imam
Hasan Al-Banna ini, ia dibimbing oleh Dr. Muhammad Nabil Ghanayim. Lebih
kurang tiga tahun, disertasinya rampung, dan di depan sidang yang
beranggotakan Prof. Boultagi, Prof, Rif`at dan Prof. Nabil, ia berhasil
mempertahankan disertasinya dan meraih gelar Ph.D. dalam bidang
Syari`ah, Universitas Kairo dengan nilai Summa Cum Laude.
Selesai studi, ia segera kembali ke tanah air dan menjumpai ibu
tercinta di kampung halamannya, dengan empat orang putera: `Aisyah,
Usamah, Ummu Hani dan Bilal. Sesampainya di Jakarta tahun 1996, ia
diminta oleh Prof. Harun Nasution, untuk mengajar di Fak. Pascasarjana
IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Karya-karyanya
Tahun 1993 sebelum berangkat ke Mesir untuk kedua kalinya, Daud sempat meninggalkan karyanya Pembaruan Islam dan Orientalisme Dalam Sorotan, sebagai buah dari polemiknya dengan Nurcholish Madjid cs. Karya aslinya yang kedua adalah Islam Dalam Berbagai Dimensi
yang diterbitkan oleh GIP tahun 1998. Tahun 1999, pada era reformasi,
ia juga menulis sebuah buku tipis dengan judul Islam dan Reformasi, yang
diterbitkan oleh Pondok Pesantren Al-Makmuriyah. Kitab terjemahan
sejarah ini adalah karya beliau terbesar. Karya-karya terjemahan lainnya
adalah Fawa’id Al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram dan Awlawiyyat al-Harakah
al-Islamiyyah, keduanya karya Yusuf al-Qaradhawi. Juga menerjemahkan
kitab kecil tentang Metode Riset Islami karya Dr. Ali Abdulhalim Mahmud,
dan Syari`at Islam karya `Abdullah Nashih `Ulwan, Ghozwul-Fikri Dalam
Sorotan karya Dr. Ahmad Abdurrahim dari Mesir.
Beberapa agenda yang insya Allah akan dilakukan oleh Ustad Daud Rasyid adalah sbb :
- Mengembangkan ponpes modern Al-Makmuriyah di Sukabumi Jawa Barat, Ponpes ini memadukan ilmu keislaman dengan teknologi, mengajarkan bahasa Arab dan Inggris, serta memfokuskan dalam Ulum Kauniyah (eksakta) didukung oleh para pengajar lulusan universitas terkemuka di tanah air, seperti UI, ITB ,UGM serta beberapa pengajar lulusan luar negeri.Untuk tahap sekarang telah dibuka tingkat pendidikan SMP dan SMU.
- Menyelesaikan pembuatan buku “Panduan Shalat berjamaah”
- Menyelesaikan buku pintar Mushtholah Hadist (tanya jawab hadist)
Ilmu yang dikuasai dan yang dapat diajar oleh beliau adalah :
- al-Fiqh al-Muqaran.
- Hadits al-Ahkam.
- Fiqh al-Jinayat.
- Mushtolah al-Hadits
- Ushul al-Fiqh
- Fiqh al-Mu`amalat
Karya Ilmiah
- “Marwiyyat al-Hakam ibn Utaibah wa fiqhuhu” (tesis MA), 1990.
- “Juhud Ulama` Indonesia fi as-Sunnah” (disertasi doktor), 1996.
- “Pembaruan” Islam dan Orientalisme dalam Sorotan”, Usamah Press, cet. pertama, 1993.
- “Bank Tanpa Bunga”, DR. Yusuf Al-Qardhawi, Usamah Press, cet. pertama, 1991 (terjemahan).
- “Syariat Islam Hukum Yang Abadi”, Prof. Abdullah Nashih Ulwan, Usamah Press, cet. pertama, 1992 (terj.).
- “Metode Riset Islami”, Prof. DR. Ali Abdul Halim Mahmud, Usamah Press, cet. pertama,1992 (terj.).
- “Prioritas Gerakan Islam”, DR. Yusuf Al-Qardhawi, Usamah Press, cet. Pertama 1993 (terj.).
- “Islam Dalam Berbagai Dimensi”, terbitan Gema Insani Press, Jakarta, cetakan Pertama, 1998.
- “Ulama dan Reformasi”, dalam penerbitan.
- Sejumlah makalah yang dipresentasikan dalam seminar-seminar ilmiah di Ibukota dan daerah.
- Sejumlah artikel yang dimuat di beberapa media massa Ibukota dan daerah, antara lain : “Media Indonesia”, “Republika”, “Berita Buana”, “Pelita”, “Harian Terbit”, “Waspada”, Majalah “FORUM”, “PANJI MASYARAKAT”, “Media Dakwah”, “Al-Muslimun”, “Suara Hidayatullah”, Jurnal Ilmiah “Marifah” Jakarta, “Oase” ICMI Cairo, dll
Tulisan yang telah dipublikasikan
- “Salah Paham terhadap Hukum Islam” dimuat dalam harian “Waspada” Medan 20-12-1983.
- “Kedudukan Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional Mesir” dimuat dalam harian “Waspada” Medan 21-3-1986.
- “Tak Perlu Belajar Islam di Barat” dimuat dalam harian “Berita Buana” Jakarta 10-6-1991.
- “Gerakan Pembaruan Islam: Antara Mesir dan Al-Jazair” dimuat dalam harian “Media Indonesia” Jakarta 4-7-1991
- “Sekali lagi, jangan belajar Islam di Barat” dimuat dalam harian “Berita Buana” Jakarta 28-8-1991
- “Afghanistan, Perjuangan Tigabelas Tahun” dimuat dalam “Harian Terbit” Jakarta 15-5-1992
- “Boudiaf, “Sadat” kedua di Timur Tengah” dimuat dalam “Harian Terbit” Jakarta 10-7-1992
- “Al-Qur`an dan Orientalis” dimuat dalam “Harian Terbit” Jakarta 18-8-1992
- “Hadits dan Orientalis” dimuat dalam “Harian Terbit” Jakarta 25-8-1992
- “Dari diskusi keagamaan di TIM: Membaca pikiran Nurcholis” dimuat dalam “Harian Terbit” Jakarta 6-11-1992
- 11. “Sekali lagi membabat pikiran Cak Nur” dimuat dalam “Harian Terbit” 27-11-1992
- “Kesesatan dikemas dengan gaya Ilmiah” dimuat dalam majalah “Media Dakwah” Januari 1993.”HAMAS dan fundamentalisme: Koreksi atas kekeliruan Riza Sihbudi” dimuat dalam harian “Republika” Jakarta Januari 1993
- “Cendekiawan Islam: Tidak Kritis? Catatan untuk Mas Dawam dan Cak Nur” dimuat dalam harian “Media Indonesia” Jakarta 1-4-1993
- “Apa dan Bagaimana Studi Islam di Barat” dimuat dalam harian “Pelita” Jakarta 27-4-1993
- “Kontroversi Belajar Islam ke Barat” dimuat dalam harian “Media Indonesia” Jakarta 30-4-1993
- “Meluruskan Akidah, Menangkal Muktazilah” dimuat dalam majalah “Media Dakwah” Mei 1993.”Sekali lagi Tentang Belajar ke Barat” dimuat dalam harian “Pelita” Jakarta 7-6-1993
- “Riba dalam Perspektif Islam” dimuat dalam harian “Republika” Jakarta 25-6-1993
- “Goldzieher dan Hadits” dimuat dalam Jurnal Ilmiah “Marifah” Jakarta No 1 Thn1993.
- “Kajian Ilmu Hadits di Indonesia” dimuat dalam harian “Republika” 19-11-1993
- “Mewaspadai Gejala Krisis Ulama” dimuat dalam harian “Pelita” Jakarta 2-12-1993
- “Pembantaian Hebron, buah perjanjian PLO-Israel” dimuat dalam harian “Republika”. Maret 1994.
- “Membaca Jawaban Nurcholish” dimuat dalam majalah “Media Dakwah” Maret 1994.”Mewaspadai Virus Orientalisme” Harian “Waspada” Medan, 22-11-1994
- “Membaca Perjanjian Damai PLO-Israel” dimuat dalam harian “Republika” 1994
- “Peran alumni Timteng dalam dunia Pendidikan di Indonesia” dimuat dalam Jurnal Ilmiah “OASE” terbitan ICMI Orsat Kairo, 1995.
- “Perdamaian Timteng Pasca Pemilu Israel” dimuat dalam harian “Waspada” Medan 17-7-1996.
- “Garaudy Vs Sindikat Zionisme” dimuat dalam harian “Waspada” Medan 9-8-1996.
- “Pemuda Dalam Pandangan Islam” dimuat dalam Majalah “Media Dakwah” Jakarta, Oktober 1996.
- “Kodifikasi Hadits Dan Orientalis” dalam Majalah “Suara Hidayatullah” 1997.
- “Akal” dalam harian “Republika” 1997.
- “Kitab Dalam Khazanah Intelektual Islam” dalam harian “Republika” 1997.
- “Qisas Dan Pelaksanaannya” dalam harian “Media Indonesia” 26 September 1997.
- “Kepedulian Sosial” dalam Majalah Mingguan “FORUM” rubrik kolom, 9 Februari 1998.
- “Membaca Krisis Dengan Visi Hadits” dalam Majalah “Panji Masyarakat”, rubrik Kolom, Februari 1998.
- “Hijrah dan Reformasi” dalam Harian “Republika”. April 1998.
- “Agenda Keagamaan Pemerintah Reformasi” dalam Harian “Republika”. September 1998
No comments:
Post a Comment